Kamis, 17 Desember 2009

Mereka Tetap Mengandalkan Otot....




Usianya rata-rata sudah tak muda, tetapi semangat kerjanya tak kalah dengan yang muda-muda. Bukan karena mereka memang orang-orang kuat, tetapi tuntutan perut dan kehidupan keluarganyalah yang membuat mereka masih harus bekerja keras mengandalkan otot-ototnya.

Lebih dari itu, tentu saja keterbatasan keahlian dan kesempatan kerjalah yang membuat orang-orang seperti Sardi (60) dan Sutarjo (58), harus bertahan menggeluti pekerjaan yang sudah mereka lakoni bertahun-tahun sebagai porter atau kuli angkut di Stasiun Kereta Api Jakarta Kota.

"Abis mau kerja di mana lagi. Orang tidurnya deket sini," kata Sutarjo saat dijumpai di sela "jam kerjanya", Selasa (15/12) sore kemarin.

Sutarjo dan Sardi adalah dua dari puluhan porter di Stasiun Jakarta Kota yang sehari-hari menjual jasa membawakan barang-barang bawaan penumpang kereta yang turun atau mau naik ke kereta. Barang yang mereka bawakan umumnya yang berat-berat, karena yang ringan-ringan biasanya ditenteng sendiri oleh pemiliknya.

Seperti profesi lain yang hanya mengandalkan otot, penghasilan sebagai porter kereta api juga tak menentu. Kadang besar, kadang bahkan tak sampai Rp 10.000. "Kemaren aja cuma 6000," kata Sutarjo. Tak ada kekecewaan atau kekesalan di wajahnya ketika menceritakan penghasilannya yang hanya cukup untuk dua kali makan dengan menu sangat seadanya itu.

Sutarjo yang mengaku berasal dari Jombang, Jawa Timur itu mengaku sudah 30 tahun bekerja sebagai porter di Stasiun Jakarta Kota.

Penghasilan yang tak seberapa, ia mengaku paling besar hanya Rp 40.000 sehari, membuat ia harus rela meninggalkan istri dan nanak-anaknya di Semarang, Jawa Tengah. Ia sendiri tinggal bersama teman-temannya mengontrak di rumah sangat sederhana tak jauh dari Stasiun Kota.

Seperti halnya Sutarjo, Sardi yang sudah berusia 60 tahun itu masih tetap bersemangat untuk mencari uang untuk keluarganya. Ia bekerja dari pagi hingga sore. Setiap kali ada kereta tiba, ia segera naik ke kereta untuk menawarkan jasa.

Sesekali beruntung ada penumpang yang bersedia barangnya dibawakan, tetapi tak jarang ia turun dengan tangan hampa. Begitu pun kalau ada penumpang yang turun dari bajaj atau mobil pribadi di pelataran stasiun. Sardi dan kawan-kawan segera menghampiri.

Tak heran, ketika ditemui sudah agak sore, Sardi sudah terlihat letih. Ia duduk di luar stasiun sambil mencari angin. Bukan untuk beristirahat, tetapi tetap menunggu ada orang yang bersedia membeli jasanya lagi.

Setiap kali membawakan barang, ia mengaku hanya mendapat Rp 5.000. "Itu juga nggak tentu. Bisa lebih, bisa juga kurang. Kadang ada yang ngasih Rp 10.000, tapi ada juga yang tiga rebu. Bagaimana miliknya saja," katanya.

Mulai sakit-sakitan

Sebagai pekerja yang mengandalkan otot, usia memang tak bisa dibohongi. Meski tekat besar, toh tulang belulang dan otot-otot tak bisa kompromi. Paling tidak itulah yang dirasakan Sardi dan Sutarjo. "Udah sakit-sakit nih badan," kata Sutarjo.

Akan tetapi, dia tak mau menyerah begitu saja. Tanggung jawab sebagai orangtua dan kepala keluarga membuat dia dan teman-teman lain seangkatannya tetap harus bekerja keras. Sebuah etos yang luar biasa dan perlu dicontoh mereka yang mengaku dirinya pemuda...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar